Tak Ada yang Sia-sia
Tak ada yang sia-sia
Ibarat organisasi, di dalam tubuh manusia terdapat bagian-bagian yang berkaitan (Ancok, 2017). Ceritanya, salah satu bagian tubuh yaitu otak merasa paling penting dari yang lain. “Akulah yang paling penting karena posisiku paling atas. Aku juga yang paling banyak berpikir menentukan langkah hidup. Kualitas manusia juga ditentukan oleh otaknya kan?” tutur otak penuh bangga.
Mendengar ungkapan tersebut, jantung tidak terima. Dia membalas kesombongan otak seraya membanggakan kuasanya dalam konstruksi tubuh manusia. “Akulah yang paling penting. Sebab akulah yang berkuasa mendistribusikan darah ke seluruh tubuh termasuk ke otak. Kalau 2 jam saja saya tidak alirkan darah ke otak bagaimana nasibmu, Otak?” tukasnya sembari memelototi otak.
Paru-paru—tetangga jantung—tidak tinggal diam. Dia menyimak perdebatan hangat otak dan jantung. Bukan melerai, paru-paru justru ingin menonjolkan kuasanya pula. “Kalian salah! Justru akulah yang bertugas menyuplai oksigen yang paling penting. Andaisaja dalam 1 jam aku tidak bagikan oksigen kalian pasti tidak berfungsi normal. Iya, kan?” seru paru-paru kanan dan kiri kompak.
Perdebatan tidak sampai di situ. Debat menjadi lebih ramai karena—mohon maaf—anus ikut turun tangan. “Kalian semua ngawur! Akulah yang paling penting. Coba kalau aku ngambek, 5 hari mogok tidak mau mengeluarkan kotoran, bagaimana nasib kalian?” ulas anus. “Dan kalian tahu kapan manusia berada paling dekat dengan Tuhannya?” tanya anus kepada otak, jantung, dan paru-paru.
Baca juga: Belajar dari Qatar
Pertanyaan anus dijawab “gelengan kepala” oleh ketiganya. Akhirnya anus menjelaskan cukup logis. “Manusia itu dekat dengan Tuhan atau Rabb-nya saat sujud dikala shalat Tahajud. Dan kalian tahu ketika manusia sujud, membenamkan kepalanya, saat itulah posisiku paling tinggi! Dan kalian semua rendah alias di bawah kedudukanku!” tegas anus. Otak, jantung, dan paru-paru tidak habis pikir akan “dihabisi” anus yang sering mereka pandang sebelah mata.
Perdebatan fiktif namun itulah gambaran kehidupan manusia. Seringkali satu dan lainnya saling mengunggulkan diri hatta akhirnya merendahkan status (sosial) yang lain. Sementara kehidupan ini bukanlah saling menjatuhkan tetapi saling melengkapi dan menguatkan. Apapun peran manusia semua itu atas takdir dan kuasa Allah semata. Dan Allah tidak pernah mencipta yang sia-sia meskipun rendah dalam pandangan manusia. Wallahu a’lamu. []
Samsul Zakaria, S.Sy.,
Staf Kependidikan Fakultas Ilmu Agama Islam UII