Diskusi Pemikiran Islam Progresif
Pusat Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Islam (P3I) kembali menggelar diskusi rutin untuk dosen FIAI. Kali ini kegiatan dilaksanakan di Ruang Sidang Gedung K.H.A. Wahid Hasyim pada Senin, (17/01) dan dihadiri oleh para dosen dan mahasiswa FIAI. Diskusi tersebut mengangkat tema berkaitan dengan pemikiran Islam progresif. Untuk membahas tema ini, dosen dari masing-masing Prodi yang meliputi Hukum Islam (Syariah), yaitu Drs. Yusdani, M.Ag., Pendidikan Agama Islam (Tarbiyah), yaitu Drs. Imam Mudjiono, M.Ag., dan Ekonomi Islam, yaitu Yuli Andriansyah, S.E., dihadirkan pada diskusi tersebut untuk mewakili masing-masing Prodi dalam melihat Islam progresif. Sekretaris Prodi Tarbiyah, Dr. Junanah, M.I.S., bertindak sebagai moderator diskusi ini.
Dalam sambutannya, Dekan FIAI, Dr. Drs. H. Dadan Muttaqien, S.H. M.Hum., antara lain menyampaikan bahwa kajian tentang dimensi Islam progresif saat ini mulai marak diperbincangkan oleh para pemikir muslim di dunia. Perbincangan ini mulai ramai ditengarai sebagai reaksi muslim yang melihat Islam seringkali dipandang buruk oleh sebagian besar orang terlebih setelah di- blow up oleh media-media di dunia. Akibatnya muncul anggapan yang membuat seakan Islam yang terlebih dahulu berkembang di Timur begitu ekstrim dan tidak bisa menyatu dengan Barat. Kondisi inilah yang disinyalir memantik kegelisahan muslim untuk mencari cara menghilangkan stigma negatif tersebut dengan cara mengembangkan pola pikir yang progresif.
Pemateri pertama, Drs. Yusdani, M.Ag., menyampaikan makalahnya yang berjudul “Agama dan Isu-Isu Kontemporer Perspektif Fiqh Progresif”. Ia mengatakan urgensi kehadiran pemikiran fiqh progresif dalam konteks Islam dewasa ini adalah bertujuan merumuskan seperangkat hukum Islam yang dapat menjadi referensi alternatif dan solutif bagi terciptanya masyarakat berkeadilan yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan. Dengan kata lain pemikiran ini merupakan suatu rumusan baru fiqh yang sesuai dengan kehidupan masyarakat kontemporer dewasa ini.
Yusdani juga menambahkan bahwa nalar pembentukan fiqh progesif berperspektif demokrasi, pluralisme, dan HAM. Oleh karena itu, pengembangan pemikiran fiqh sekarang ini sebagai sebuah disiplin ilmu harus mencerminkan dan mangakomodasi nilai-nilai kesetaraan, keadilan, kemanusiaan. Menurutnya dalam pemikiran fiqh progresif kedudukan semua warga negara setara (equal) dan memperoleh perlakuan yang adil, terutama jaminan kebebasan berkeyakinan, kaum minoritas, baik minoritas dalam segi agama, ekonomi, etnis dan yang lainnya dilindungi dan dijamin hak-haknya secara setara dan adil. Oleh karena itu, dalam pandangan fiqh progresif transformasi hukum Islam selain akan mengantarkan fiqh menjadi hukum publik yang dapat diterima oleh semua kalangan, juga kompatibel dengan tuntutan kehidupan masyarakat masa kini.
Sementara itu Yuli Andriansyah, SE., yang menjadi pemateri kedua menyampaikan makalahnya yang berjudul “Islam Progresif dan Dinamika Ekonomi Islam”. Ia menyatakan dalam makalahnya bahwa pandangan Islam progresif terhadap ekonomi Islam dapat dianggap bertentangan pada sejumlah isu dan bersesuaian pada isu lainnya. Menurutnya ekonomi Islam dengan dinamikanya memang lebih mendekati fiqh sebagai acuan, berbeda dengan Islam progresif yang menuntut fiqh baru yang lebih humanis.
Namun demikian menurutnya catatan Islam progresif terkait idealisme keadilan dalam banyak hal sebenarnya juga berdekatan dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh ekonomi Islam. Ilmu ekonomi Islam didasari pada kesadaran bahwa dalam kehidupan orientasi akhir yang menjadi tujuan adalah mencapai falah. Falah merupakan kemenangan dan kemuliaan hidup yang mencakup aspek yang lengkap dan menyeluruh bagi kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Hal ini pula yang setidaknya didambakan oleh Islam progresif.
Drs. H. Imam Moedjiono, M.Ag., Dosen Pendidikan Agama Islam, yang hadir sebagai pemateri ketiga menyampaikan materinya yang berjudul “Pemikiran Progresif dalam Pendidikan Islam: Telaah terhadap Output Lembaga Pendidikan Islam”. Ia menyatakan tidak mau terjebak pada istilah pemikiran islam progresif. Baginya istilah ini hanya jelmaan dari istilah mujtahid yang sebenarnya mengacu pada keseriusan pemikir muslim dalam dalam melakukan aktivitas intelektualnya. Untuk itu, ia lebih memfokuskan pembahasan pada telaah terhadap output lembaga pendidikan Islam seperti yang diperagakan para tokoh seperti al-Tahtawi, al-Afghani, Abduh, Thaha Husain, Fazlurrahman, M. Fajar, Azyumardi Azra dan Imam Zarkasyi. Tokoh-tokoh tersebut menurutnya telah menunjukkan konsentrasinya terhadap pemikiran progresif di lembaga pendidikan Islam.
Imam juga menyatakan bahwa lembaga pendidikan Islam saat ini perlu berupaya keras untuk melahirkan excellent output seperti yang dicontohkan tokoh-tokoh di atas. Beberapa hal yang bisa dilakukan misalnya merespon perkembangan ilmu pengetahuan terkini dengan mencari bentuk relasi dialektiknya melalui penafsiran yang lebih kreatif dan terbuka. Selain itu tradisi pemikiran untuk memperjuangkan kebenaran agama yang sejak lama diperjuangkan menurutnya perlu dipelihara demi mewujudkan integritas moral Islam.
Unduh Makalah