Seminar Nasional Anak Berkebutuhan Khusus
Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI) Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indonesia (UII) pada Sabtu, 18 Januari 2014 menggelar Seminar Nasional Anak Berkebutuhan Khusus dengan topik “Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus di Madrasah dan Sekolah dalam Setting Inklusif”. Seminar menghadirkan empat pembicara, yaitu Dr. Praptono, M.Ed., Kasubdit Pembelajaran pada Direktorat Pembinaan PKLK Pendidikan Dasar, Kemendikbud RI, Dr. Djadja Rahardj, M.Ed., Pengurus Pusat Asosiasi Profesi Pendidikan Khusus Indonesia (APPKhI) dan Dosen Universitas Pendidikan Bandung (UPI), Dr. Drs. H. Muhammad Idrus, S.Psi., M.Pd., Ketua Program Studi PAI FIAI UII, dan Agus Inspirator, motivator tunanetra.
Seminar yang berlangsung di Lantai 2 Gedung Moh. Hatta, Direktorat Perpustakaan UII, ini dibuka dengan pembacaan ayat suci Alquran oleh qari tunanetra Juara 1 Musabaqah Tilawatil Quran Cabang Tunanetra pada MTQ Tingkat Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain itu dalam seminar ini juga ditampilkan kemampuan bermain musik anak-anak berkebutuhan khusus dari Sekolah Luar Biasa. Peserta yang hadir berasal dari sejumlah dosen, guru, pengelola SLB, dan mahasiswa. Dekan FIAI UII, Dr. Drs. H. Dadan Muttaqien, S.H., M.Hum., dalam sambutannya menyambut gembira diadakannya kegiatan ini. Dekan FIAI mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan masih minimnya dukungan bagi anak berkebutuhan khusus di Indonesia. Dari sekitar 1,48 juta anak berkebutuhan khusus yang ada, baru sekitar 26 % diantaranya yang memperoleh layanan pendidikan. Selain itu, masalah akses juga masih terbatas mengingat dari sekitar 1.311 Sekolah Luar Biasa (SLB) yang ada hanya 23% diantaranya yang berstatus negeri dan kebanyak terkonsentrasi di Pulau Jawa.
Bagi Dekan FIAI, ajaran Islam tidak membeda-bedakan antara mereka yang terlahir sempurna maupun yang terlahir dengan memiliki sejumlah kekurangan atau keterbatasan fisik. Semuanya merupakan makhluk Allah SWT yang memiliki potensi untuk maju dan berkembang. Itulah sebabnya, di fakultas yang dipimpinnya terdapat sejumlah mahasiswa yang memiliki keterbatasan seperti tunanetra. Bahkan salah satu alumni yang tunanetra telah berhasil menjadi pegawai negeri sipil (PNS) dan saat ini tengah menempuh studi doktoral.
Wakil Rektor I UII, Nandang Sutrisno, S.H., L.L.M., Ph.D. dalam sambutan mewakili Rektor UII menyampaikan bahwa hak-hak anak berkebutuhan khusus baik dalam skala internasional maupun nasional telah diakui. Terdapat pernyataan umum tentang Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) dan juga Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hak-hak anak (United Nations Convention on the Rights of the Child) yang keduanya menjamin hak bagi anak termasuk yang berkebutuhan khusus untuk memperoleh layanan pendidikan. Dalam konteks nasional, baik Undang-Undang Dasar maupun berbagai peraturan di bawahnya juga mengatur adanya hak bagi setiap anak untuk memperoleh pendidikan.
Meskipun demikian, Wakil Rektor I UII menekankan bahwa sejumlah perangkat hukum yang ada pada dasarnya hanyalah bersifat normatif sehingga tidak menjamin pemenuhan hak-hak anak tersebut. Agar hak tersebut dipenuhi, menurutnya diperlukan political will dari pemerintah dan juga kontribusi masyarakat. Political will diperlukan untuk mengurangi hambatan-hambatan teknis sehingga hak-hak anak berkebutuhan khusus dapat dipenuhi secara lebih ideal. Sedangkan masyarakat dapat ikut berperan antara lain melalui perjuangan di dunia pendidikan. Wakil Rektor I UII juga menyambut positif kontribusi Program Studi PAI FIAI UII yang telah membuka ruang bagi mahasiswa berkebutuhan khusus, meskipun jumlahnya masih terbatas. Baginya hal ini merupakan pengejawantahan visi universitas sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Memasuki sesi pertama seminar, dua pemateri menyampaikan pembahasan. Dr. Suprapto, M.Ed., menyampaikan paparan berjudul “Aktualisasi Kebijakan Pendidikan dalam Pemerataan Kesempatan dan Akses Serta Peningkatan Mutu Melalui Program Pendidikan Inklusif” sedangkan Dr. Djadja Rahardja, M.Ed. menyampaikan paparan dengan judul “Pendidikan Inklusif: Konsep dan Isu”. Sedangkan pada sesi kedua, Dr. Drs. H. Muhammad Idrus, S.Psi., M.Pd. menyampaikan paparan berjudul “Layanan Pendidikan Bagi Anak-anak Berbakat” dan Agus Inspirator memberikan inspirasi bagi peserta.
Dr. Suprapto, M.Ed. menjelaskan bahwa tahun 2014 merupakan milestone 10 tahun Pembangunan Pendidikan dan Kebudayaan di Indonesia. Selama periode ini telah dilakukan banyak kebijakan untuk pengembangan pendidikan mulai dari dilaksanakannya Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan disahkannya UU Guru dan Dosen pada 2005, tercapainya Wajib Belajar Nasional Sembilan Tahun pada 2008, naiknya anggaran pendidikan hingga 20% APBN pada 2009, hingga sejumlah capaian lain termasuk Kurikulum 2013. Selama proses ini sejumlah isu pokok muncul seperti masalah akses, mutu dan relevansi, pelestarian dan pengembangan kebudayaan, dan tata kelola.
Pendidikan inklusif yang ditekankan di Indonesia mencakup pendidikan untuk semua dan pendidikan tanpa kecuali yang jika dikaitkan dengan wajib belajar sangat relevan. Wajib belajar pada dasarnya merupakan hak belajar bagi anak untuk mendapat pendidikan selama 9 tahun. Didalamnya terdapat prinsip bahwa ada kepastian bagi semua warga negara untuk memperoleh pendidikan minimal sampai lulus setara SMP tanpa kecuali. Adapun layanan pendidikan yang disediakan mencakup tiga kategori utama, yaitu (a) pendidikan inklusif yaitu sekolah biasa/sekolah umum, yang mengakomodasi semua anak berkebutuhan khusus, (b) pendidikan khusus yang mencakup kecacatan yaitu berupa TKLB, SDLB, SMPLB, SMLB maupun yang berkecerdasan istimewa seperti program “aksel” dan berbakat istimewa, serta (c) pendidikan layanan khusus yang terdapat pada daerah terbelakang, terpencil, pulau-pulau kecil, pedalaman, beberapa Sekolah Indonesia Luar Negeri (SILN), anak TKI, masyarakat etnis minoritas terpencil, pekerja anak, pelacur anak/trafficking/pelacur anak, lapas anak/anak di lapas dewasa, anak jalanan/pemulung, dan juga pengungsi anak (gempa, bencana, konflik).
Terdapat sejumlah sebutan untuk anak berkebutuhan khusus yang selama ini digunakan seperti impairment mengacu pada ketidaknormalan, ketidakfungsian atau kekurangan fungsi organ atau sistem kerja, disability merupakan konsekuensi fungsional dari ketidakfungsian, dan handicap merupakan konsekuensi sosial atau lingkungan dari ketidakmampuan dan ketergantungan dirinya untuk dilayani oleh lingkungan. Anak dikatakan memiliki kebutuhan khusus dalam pendidikan jika mereka memiliki kesulitan belajar yang menyebabkan mereka membutuhkan pelayanan khusus agar keluar dari kesulitannya. Terdapat empat hal yang dibutuhkan setiap ABK, yaitu (a) komunikasi dan interaksi, (b) berpikir dan pembelajaran, (c) sikap, emosional dan perkembangan sosial dan (d) sensori dan/atau fisik.
Kunci utama sebagai sumber energi dalam memberikan pelayanan bagi anak berkebutuhan khusus menurut Dr. Suprapto, M.Ed. mencakup semangat membangun mimpi (inspiring and empowering dream), kesamaan hak (focus on equity), dan mengedepankan kerjasama daripada persaingan (collaborative rather than competition). Adapun model pendidikan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus secara umum dikelompokkan dalam tiga model, yaitu inklusif penuh (full inclusion), kelas khusus (special class), dan sekolah khusus (special school). Sebagai respons atas berbagai model ini, kurikulum 2013 telah menggunakan sejumlah pendekatan yaitu dilengkapi dengan pedoman khusus untuk proses pembelajaran dalam kelas inklusi pada satuan pendidikan induk dan dalam kelas khusus bagi anak berkebutuhan khusus pada satuan pendidikan induk. Selain itu, untuk sekolah khusus kurikulum 2013 mengatur pedoman khusus untuk disesuaikan dengan jenis kelainan.
Sementara itu, Dr. Djadja Rahardja, M.Ed. menyebutkan bahwa Pendidikan inklusif dalam beberapa tahun terakhir ini telah menjadi isu yang sangat menarik dalam sistem pendidikan nasional. Hal ini dikarenakan pendidikan inklusif memberikan perhatian pada pengaturan para siswa yang memiliki kelainan atau kebutuhan khusus untuk bisa mendapatkan pendidikan pada sekolah-sekolah umum atau reguler sebagai ganti kelas pendidikan khusus atau sekolah luar biasa. Ia juga menyebutkan sejumlah tahapan yang menandai perubahan paradigma dalam pendidikan luar biasa yang berwujud pada evolusi pilihan penempatan bagi anak-anak dengan kelainan. Evolusi ini berawal dari pandangan mainstreaming pada akhir 1960-an hingga awal 1970-an yang menghasilkan program segregasi. Kemudian berkembang menjadi least restrictive environment (LRE) atau lingkungan yang sangat tidak terbatas pada akhir 1970-an, kemudian berkembang menjadi regular education initiative (REI) atau inisiatif pendidikan umum pada akhir 1980-an dan akhirnya menjadi full inclusion atau inklusi penuh di awal sampai akhir 1990-an.
Terkait sekolah inklusif, Dr. Djadja Rahardja, M.Ed. menjelaskan karakternya sebagai sekolah yang mengakomodasi semua anak tanpa terkecuali. Sekolah jenis ini mencakup anak penyandang disabilitas, anak dengan kecerdasan dan bakat istimewa, anak jalanan dan pekerja anak, anak dari kelompok minoritas dalam bahasanya, budayanya, dan agamanya atau anak dari daerah yang kurang beruntung atau terpinggirkan. Sekolah ini baginya juga merupakan peluang untuk menemukan solusi lokal untuk masalah-masalah pemberdayaan masyarakat karena merupakan bagian dari satu sistem pendidikan inklusif sekaligus bagian dari karakter masyarakat yang inklusif pula.
Adapun dalam rangka mengimplementasikan pendidikan inklusif, menurut Dr. Djadja Rahardja, M.Ed. perlu diperhatikan beberapa kesiapan yaitu (1) peningkatan kesadaran masyarakat tentang pelaksanaan pendidikan untuk semua, termasuk di dalamnya anak berkebutuhan khusus, atau pendidikan inklusif; (2) membangun sistem yang sesuai dengan kebutuhan anak berkebutuhan khusus, sehingga mereka merasa terfasilitasi kebutuhannya sesuai dengan kondisinya; (3) mempersiapkan guru yang memahami kebutuhan peserta didik berkebutuhan khusus; dan (4) mempersiapkan aksesibilitas yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik berkebutuhan khusus.
Download Makalah dan Presentasi
Presentasi Dr. Suprapto, M.Ed.
Makalah Dr. Djadja Rahardja, M.Ed.