“Iman dapat menjadikan manusia sadar bahwa manusia pada dasarnya setara dan titik pembedanya hanya terletak pada takwa, tetapi iman yang tertutup senantiasa mengotak-kotakkan umat manusia menjadi ‘kita’ dan ‘mereka’ (nahnu wa al-ākhar) dimana yang satu berada di sini dan yang lain berada di sana; kita di surga dan mereka di neraka.”
(Gus Irwan Masduqi)
Saya memiliki 2 kalimat. Kalimat pertama: Saya membeli sapi. Kalimat kedua: Saya membeli kambing. Ketika ingin mengungkapkan 2 kalimat tersebut maka saya boleh (bahkan harus) menggabungkannya dalam satu kalimat majemuk. Kalimat kombinasinya menjadi: Saya membeli sapi dan kambing. Sebab, dalam kalimat tersebut subyek dan predikatnya saya; “saya” dan “membeli”. Sehingga, harus disederhanakan supaya tidak terjadi pleonasme (tabdzīr).
“…kekerasan tidak selalu dapat menyelesaikan masalah, tetapi masalah yang satu ini hanya dapat diselesaikan dengan kekerasan…”
(www.suara-tamiang.com)
Kejujuran adalah mata uang yang berlaku di negara manapun. Begitulah bunyi kata bijak yang tidak diketahui secara pasti siapa pencetusnya. Ungkapan tersebut adalah penegasan bahwa kejujuran merupakan harga mati, yang tidak seharusnya ditawar(-tawar) lagi. Dimanapun manusia berada ia harus menjaga integritasnya, dengan berlaku jujur. Hadits Rasulullāh tegas sekali, kejujuran pada akhirnya akan menghantarkan pelakunya ke pintu surga.
“Kau bilang Tuhan sangat dekat, kau sendiri memanggil-manggil-Nya dengan pengeras suara setiap saat…” (Gus Mus)
Kalau Tuhan lebih dekat dari urat nadi, lalu siapa yang lebih dekat dengan kita selain Dia? Antara Tuhan dan manusia bertemu dalam kebersatuan yang begitu erat dan lekat. Sayangnya, kita sebagai hamba-Nya seringkali lupa akan kehadiran-Nya, yang bersatu dalam “tubuh” kita. Singkat kata, Tuhan hanya terasa ketika kita mengunjungi rumah ibadah. Sementara ketika kita berada di luar “tempat mulia” itu, aura ketuhanan seolah mulai sirna.
اُدْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِى هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
“Serulah (manusia) kepada jal an Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S. Al-Nahl [16]: 125)
Salah satu kebiasaan yang ada di daerah penulis yang terryata sangat melekat dan sulit ditinggalkan adalah ‘ngopi’. Sepet rasanya sehari tanpa si hitam nikmat itu. Paling tidak, satu cangkir kopi satu hari sekali. Itu memang kebutuhan saya, bukan untuk jantan-jantanan, lanang-lanangan. Kalau jantan-jantanan berarti cuma macak jantan, artinya dia betina.
يَـأَيُّهَاالَّذِيْنَ ءَامَنُوْكُوْنُوْ قَوَّامِيْنَ لِلّهِ شُهَدَآءَ بِالْقِسْطِ وَلاَيَجْرِمَنَّكُمْ شَنَئَانُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُوْا اعْدِلُوْا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَالتَّقُوْا اللهِ إِنَّ اللهَ خَبِيْرٌ بِمَا تَعْمَلُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allāh, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adil-lah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allāh, sungguh, Allāh Maha Teliti apa yang kamu kerjakan.” (QS al-Mâidah [5]: 8)
Golongan pertama, sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam, yang akan mendapat pertolongan Allâh adalah pemimpin yang adil (imâmun ‘âdilun). Tidak main-main. Pertolongan yang dimaksudkan diberikan langsung oleh Allâh. Dimana pertolongan tersebut datang di saat tidak ada lagi pertolongan kecuali pertolongan dari-Nya. Hal ini mengingatkan kita betapa susahnya mencari pemimpin yang adil (dan merakyat) di negeri ini.
Hidup ibarat balon yang ditiup, kemudian terbang, lalu meletus dan jatuh. Tidak apa-apa. Jika tidak jatuh, kita tidak akan merasakan sakit dan tidak akan tau bagaimana rasanya berjuang untuk bangun dan belajar berjalan lagi. Memang yang dimaksud hidup berwarna itu ya seperti itu. Jatuh, sakit, berusaha bangun dan belajar berjalan lagi. Rasanya keren kan, jika hidup kita warna-warni? Mulai dari gelap sampai terang, ada semua dan bisa dirasakan. Itu baru nikmat dan berkah. Subhân Allâh! Kenapa nikmat dan berkah? Karena jika terus-menerus terang, kemudian tiba-tiba Allâh memberi setitik warna gelap dalam hidup kita, kita akan kaget dan bingung bagaimana cara menghadapinya. Ternyata kegelapanpun bisa membawa hikmah, nikmat, dan berkah kan? Baiknya Allâh sama kita, sampai-sampai kegelapan bisa jadi berkah. SubhânAllâh That’s why ada sisi positif dan negatif.
Ibarat gelap dan terang, sakit dan sehat, sedih dan gembira, nyatanya memang mereka saling melengkapi. Tetapi mungkin kita saja yang sering lupa dengan negatif ketika kita sedang dalam suasana terlalu positif. Semacam terlalu bahagia. Ujung-ujungnya saat kita dihadapkan pada sesuatu yang tidak kita harapkan, kita sering merasa terlalu sedih. Nah, ketika kita terlalu sedih, kita masih terbayang-bayang saat kita merasakan kebahagiaan yang berlebihan itu. Akibatnya mempersulit diri untuk bangkit. Jika sudah mulai sulit bangkit sendiri, gimana dong? Sebenernya simple. Ingat saja, “Aku bisa jatuh dengan mudahnya. Mengapa aku harus kesulitan ketika hendak bangkit?” Kata-kata itu mungkin terkesan meremehkan tetapi berbalut motivasi agar kita percaya bahwa kita bisa bangkit. Nyatanya banyak pelajaran dalam hidup dari perkara simple.
Bagaimana jika suatu ketika kita harus terjebak dalam kemacetan panjang? Sementara jadwal keberangkatan pesawat atau kereta sudah semakin dekat. Atau kalau tidak, kita ingin segera sampai ke tempat tujuan lalu merebahkan badan untuk beristirahat. Namun sayangnya, kondisi jalan sama sekali tidak bersahabat. Mungkin, dalam kondisi demikian banyak diantara kita yang kemudian mengumpat. Itu dilakukan sebagai pelampiasan dari akumulai kejenuhan menyaksikan kerumunan ‘besi berjalan’ dengan sangat lambat.
Suatu malam, penulis (saya) menaiki taksi dari Ciputat (Ponpes Darussunnah) menuju Stasiun Pasar Senin, Jakarta. Perbincangan ringan antara penulis dan sopir taksi malam itu, berlangsung hangat. Kondisi Jakarta yang luar biasa macet membuat penulis berkomentar. “Kalau begini kondisinya pasti banyak yang stres ya, Pak?” komentar penulis dengan nada bertanya. “Iya, Dik. Tapi kalau saya –yang penting– menikmati saja,” balasnya, sekaligus menjawab kegundahan penulis. Iya, memang benar pak sopir yang mengaku berasal dari Banjarnegara tadi. Bagaimanapun kondisinya kalau dinikmati akan mengusir segenap kejenuhan. Bagaimana dengan sahabat pembaca?
Fakultas Ilmu Agama Islam
Kampus Terpadu Universitas Islam Indonesia
Jl. Kaliurang km. 14,5 Sleman, Yogyakarta 55584 Indonesia Email: fiai@uii.ac.id
Telp: 0274-7070200 Ext. 5400