Maksiat yang membawa pelakunya pada perasaan hina dan butuh (mendekatkan diri) pada Allah lebih baik daripada ketaatan yang menimbulkan rasa keagungan diri dan disertai kesombongan. (Ibn Athaillâh)
Kuncinya adalah Hati
Semestinya merupakan hal yang wajar bila seorang Muslim merasakan ketenangan saat telah menunaikan ketaatan dan merasakan ketakutan setelah melakukan kemaksiatan. Dalam ranah dhahir, secara kasat mata, ketaatan adalah mutlak sebuah kabaikan. Sementara kemaksiatan –sekecil apapun bentuknya- tetaplah kesalahan. Namun, struktur bangunan amal seseorang tidaklah terjadi berkat kontribusi aktivitas jasmani saja. Amal tidaklah terwujud tanpa ada campur tangan rohani yang biasa dikenal dan diwakili oleh hati. Dalam hadits Nabi unsur terakhir justru disebut sebagai tolak ukur baik buruknya aktivitas jasmani seseorang. “Ingatlah bahwa dalam jasad itu ada sekerat daging, jika ia baik, baiklah jasad seluruhnya, dan jika ia rusak, maka rusaklah jasadnya seluruhnya. Ingatlah, ia adalah hati (al-qalbu)“. (HR. Bukhari dan Muslim).