I was blues, Because I had no shoes, Until off on the street, I meet man without feet.
Ketika penulis memaparkan materi tentang “Syukur Tiada Akhir” di sebuah stasiun radio, datang sebuah pertanyaan yang menarik untuk dibahas. Pertanyaan via SMS itu bertutur tentang betapa mudahnya bersyukur dengan mengucapkan hamdalah (alhamdulillâh). Namun sayangnya, hal itu menjadi terasa sulit ketika harus diterapkan dalam kehidupan nyata. Penulis sadar dan memahami kegelisahan yang diutarakan sang penanya. Dan itu pula yang masih sering kita, termasuk penulis, rasakan.
Menanggapi pertanyaan tersebut, penulis mencoba untuk bersikap diplomatis. Tidak terburu-buru menghakiminya, dengan menganggapnya sebagai kesalahan, karena hanya bisa bersyukur dengan ucapan saja. Tetapi juga tidak semata-mata membenarkannya. Pasalnya, mengucapkan perkataan yang baik itu sebenarnya akan berpengaruh terhadap kinerja anggota tubuh. Ketika ucapan “hamdalah” itu muncul, maka tubuh akan merespon positif. Selanjutnya, jika yang bersangkutan mencoba untuk merenunginya, akan sangat mudah diikuti dengan tindakan nyata. Read more